Menerapkan Solidaritas Kemanusiaan Perspektif Islam, Cegah Intoleransi di Ruang Publik

19 Januari 2023, 09:19 WIB
Ilustrasi bersalaman /Pixabaya.com/un-perfekt/

GOWAPOS - Mempererat tali persaudaraan, toleransi, menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas kemanusiaan, adalah impian hidup warga dunia.

Meskipun dibatasi oleh batas-batas teritorial negara yang jelas dan budaya yang berbeda, hidup damai jadi sebuah proposal yang terus dipertahankan umat manusia.

Demi mewujudkannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerapkan sejumlah proyek kemanusiaan dalam mendamaikan perang tidak berkesudahan di belahan bumi sengketa.

PBB turut berperan untuk memperjuangkan hak-hak hidup warga dunia melalui langkah-langkah solidaritas kepada korban bencana alam atau krisis ekonomi, yang tampak termarjinalkan dari peradaban modern.

Baca Juga: Lirik Lagu VIRGOUN - SAAT KAU TELAH MENGERTI, Pesan Cinta Seorang Ayah Kepada Anak Perempuannya

Menimbang situasi itu, regulasi solidaritas kemanusiaan diperlukan untuk ditetapkan segera, berikut dengan narasi nilai-nilai kemanusiaan yang perlu diperjuangkan bersama-sama.

Bantuan setiap orang atau berbagai elemen masyarakat kepada yang membutuhkan harus tersalurkan secara merata tanpa pandang identitas.

Namun realitanya saat ini, petak-petak distingtif di tengah masyarakat masih terlihat jelas dalam hal bantu-membantu.

Padahal tindakan semacam itu hanya akan memutus urat persaudaraan antar sesama dan bisa saja menjadi gerbong paling mungkin masuknya paham radikalisme dan intoleransi.

Baca Juga: Lowongan Kerja di Starbucks Indonesia Tahun 2023, Terbuka Untuk Lulusan SMA dan SMK

Dalam Islam, Solidaritas kemanusiaan sangat penting untuk diperjuangkan secara bersama-sama.

Agar dapat menangkal krisis nilai-nilai kemanusiaan dan mewujudkan istilah Kuntum Khaira Ummat.

Dasar Solidaritas dan Kemanusiaan

Emile Durkheim adalah seorang sosiolog pertama yang secara eksplisit mengemukakan teori solidaritas dalam fenomena fakta sosial.

Konsep solidaritas dipandangnya selalu berkaitan dengan dua hal yakni integrasi sosial dan kekompakan sosial (Taufik Abdullah, dkk.:1986).

Dua unsur itu adalah landasan utama untuk menghadirkan solidaritas di tengah masyarakat. Karena dari solidaritas muncul pengalaman moral, kepercayaan dan rasa emosional bersama.

Salah satu tipe solidaritas yang pantas untuk dipraktekkan sesuai dengan tujuan PBB tadi adalah solidaritas mekanik.

Solidaritas mekanik bergerak dari kelompok atau individu yang hadir karena kesadaran kolektif yang sama dan kuat.

Mereka akan tergerak untuk membantu yang lain ketika merasakam hal serupa atau tinggal di satu kawasan.

Contoh sederhana dapat terlihat ketika Indonesia diterpa pandemi Covid-19 hingga tiga gelombang.

Banyak korban meninggal dunia, tim medis bahkan kewalahan dan tidak sedikit juga harus mengorbankan nyawanya.

Kesengsaraan yang terjadi di sekitar, lantas mendorong kelompok atau individu yang berkecukupan untuk melakukan aksi solidaritas kemanusiaan demi meringankan beban masyarakat yang membutuhkan.

Semua berjuang seirama, baik pemerintah maupun warganya, walaupun ada begitu banyak narasi pesimis bertebaran di mana-mana.

Mereka yang tergerak tetap berada di barisan paling depan bagaikan oase di tengah padang pasir.

Sikap solidaritas terhadap sesama telah lama diperjuangkan dalam ajaran Islam. Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW. bersabda,

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi ibaratkan satu tubuh, Jika salah satunya sakit, maka yang lain akan ikut merasakannya”.

Bahkan dalam riwayat tersebut ada tiga poin penting yang perlu ditanamkan dalam memperjuangkan solidaritas kemanusiaan, yaitu saling mencintai (Tawaaddihim), saling menyayangi (Taraahumihim), dan saling mengasihi (Ta’aathufihim).

Sehingga, solidaritas di ruang publik seharusnya sudah selesai dalam internal umat Islam melalui proposal persatuan dan internalisasi makna Tauhid dalam tiap diri pemeluknya.

Solidaritas Kemanusiaan Anti Intoleransi

Memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan perlu ada keberanian diri untuk keluar dari pandangan mainstream yang membatasi pergerakan dan tindakan untuk merespon fenomena sosial.

Batasan-batasan itu bisa berupa cara pandang sempit dalam memahami persatuan umat.

Islam mengajarkan agar pemeluknya tidak hanya fokus memperkuat persaudaraan internal, tapi juga menebarkan cinta kasih mereka kepada orang yang berbeda keyakinan atau bahkan tidak punya keyakinan sama sekali (Ateis).

Almarhum Ahmad Syafii Maarif adalah sosok yang mengedepankan pentingnya perilaku kemanusiaan untuk saling mengenal sesama manusia (Ahmad Syafii Maarif: 2018).

Konsep Ta’aruf seharusnya dipegang oleh umat Islam untuk menjawab tuntutan pluralisme di ruang publik.

Buya Syafii pun menganggap tidak boleh ada tindakan untuk memusnahkan orang tidak beragama atas nama agama.

Mereka harus dianggap pula sebagai bagian dari masyarakat. Dengan melanggengkan budaya Ta’aruf, bagi Buya Syafii hal itu telah memperindah bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab dengan landasan iman yang konkrit.

Berkali-kali Ketua umum Muhammadiyah periode 2000-2005 itu mengumandangkan narasi avant-garde (Perluasan gerakan baru) terhadap pola tindakan umat Islam untuk menyelamatkan peradaban dunia.

Tentu saja bukan dengan menggulingkan sistem demokrasi untuk digantikan dengan sistem khilafah, tapi memperkuat sistem yang ada dengan bersendikan keadilan, persamaan, dan persaudaraan, sesuai perintah Allah dan ajaran Nabi Muhammad.

Maka haruslah kiranya kekayaan gagasan persaudaraan universal tadi untuk merepresentasikan avant-garde solidaritas kemanusiaan, yang secara tidak langsung akan menutup ruang-ruang berkembang biaknya virus radikalisme dan intoleransi dalam kehidupan bermasyarakat.***

Editor: Andi Novriansyah Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler