Manusia yang Terikat atau Otoritatif: Perspektif Fakhr Ad-Din Ar-Razy dan Martin Heidegger

- 31 Maret 2023, 18:05 WIB
Ilustrasi berpikir
Ilustrasi berpikir /Pixabay.com/geralt/

GOWAPOS - Momen berpuasa selama bulan Ramadhan tampaknya akan terasa hambar dan tidak berbekas jika hanya dilewatkan dengan sekedar menahan apa-apa yang membatalkan puasa. Apalagi ibadah tersebut hanya dimaknai sebagai ritual tahunan dalam menahan lapar dan dahaga.

 

Puasa semacam itu hanya berkutat pada waktu, dimulai dan diakhiri tanpa ada rasa untuk memaknai. Cobalah sesekali melihat lebih jauh di dalam diri. Pada momen kehampaan perut dan tanpa aktivitas mengadopsi dunia secara berlebih di siang hari, sesungguhnya siapakah diri ini? Masihkah ia disebut sebagai manusia.

Jawabannya perlu digali dari sari pati tanah yang membentuk manusia. Membuat lubang yang dalam untuk menemukan makna sesunggunya dari keberadaan manusia di dunia. Apabila merujuk pada dogma agama (baca: Islam), maka tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah fil ardh, pengemban amanah dan penyalur perintah Allah.

Lalu eksistensi seluruh makhluk di muka bumi akan sampai pada titik kehilangan diri. Entah itu dari arti keberadaannya di tengah masyarakat, atau bisa saja karena fisiknya sudah tidak mampu menuruti kemauan diri (baca: jiwa).

Baca Juga: Mahfud MD Bongkar Transaksi Janggal 349 Triliun Kepada DPR, Fahri Hamzah: Ada Kultur Bersekongkol Luar Biasa

Jawabannya sudah diungkap secara gamblang sebenarnya lewat dua karya eksistensialis dari dua filsuf beda negara dan generasi. Fakhr Ad-Din Ar-Razy dengan karya Mabahits Al-Masyriqiyyah, serta Martin Heidegger dengan karya Sein und Zeit.

Kedua kitab monumental tersebut terdapat tema yang serupa dengan pendekatan berbeda. Wujud atau Ada atau Eksistensi, akan diulas secara rinci untuk mendapatkan jawaban dari apa manusia itu.

Halaman:

Editor: Andi Novriansyah Saputra


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x