K.H. Ahmad Dahlan, Bapak Pendidikan dan Pejuang Toleransi Umat

- 21 Oktober 2021, 20:41 WIB
Jika melihat lagi sejarah, K.H. Ahmad Dahlan bisa dikatakan sebagai bapak pendidikan dan pejuang toleransi umat.
Jika melihat lagi sejarah, K.H. Ahmad Dahlan bisa dikatakan sebagai bapak pendidikan dan pejuang toleransi umat. /@omahsantri.id/Instagram

GowaPos.com -- Jika melihat lagi sejarah, K.H. Ahmad Dahlan bisa dikatakan sebagai bapak pendidikan dan pejuang toleransi umat.

K.H. Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok Pahlawan Nasional dan pendiri Organisasi masyarakat (Ormas) Islam, Muhammadiyah.
Ia lahir pada 1 Agustus 1868 di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Putera keempat dari tujuh bersaudara dalam keluarga K.H. Abu Bakar.

K.H. Ahmad Dahlan memiliki nama kecil Muhammad Darwis. Ia tumbuh di lingkungan yang religius, namun lebih tekstual dalam memahami agama.

Baca Juga: Syarat Naik Pesawat Wajib PCR, dr Tirta: Lebih Baik Swab Antigen

Saat berusia 15 tahun, Muhammad Darwis memutuskan untuk berangkat haji sambil menimba ilmu di Mekkah.

Setelah lima tahun tinggal di Mekkah, Muhammad Darwis kembali ke kampung halaman dan mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan.

Untuk lebih memperdalam keilmuannya, Ahmad Dahlan muda melanjutkan perantauan ke Madura untuk berguru dengan Syaikh Cholil Bangkalan.

Dirinya menimba ilmu di Madura bersama dengan K.H. Hasyim Asy’ari, yang kelak akan menjadi pendiri ormas Nahdlatul Ulama.

Baca Juga: Identitas Mantan Kim Seon Ho Tersebar, Netizen Beri Serangan di Sosial Media hingga Ancaman Pembunuhan

Selama perantauannya dalam menimba ilmu, Ahmad Dahlan sangat tertarik pada pembahasan tentang pemikiran dan gerakan Islam.

Saat kembali ke kampungnya, Ahmad Dahlan menyebarkan ilmu pengetahuan yang selama ini ia pelajari kepada anak-anak kampung.

Semakin lama, murid yang ia didik semakin bertambah banyak, sehingga Ahmad Dahlan memutuskan untuk mendirikan Muhammadiyah bersama dengan murid-murid kepercayaannya.

Tujuan dibentuknya Muhammadiyah adalah menyukseskan cita-cita pembaharuan Islam di Nusantara.

Namun, perjuangannya untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni mendapat tantangan keras dari para pendahulunya.

Pandangan-pandangan miring memang sudah sering ia dapatkan, bahkan sebelum berdirinya Muhammadiyah.

Ahmad Dahlan sempat mendapat cemoohan dari orang-orang di sekitarnya karena bergabung dengan organisasi Budi Oetomo.

Organisasi Budi Oetomo memang dikenal sebagai tempat para orang-orang elit dengan karakter baratnya.

Oleh sebab itu Ahmad Dahlan mendapat kecaman keras dari pemuka agama di kampungnya, yang menuduh dirinya sesat sebab bergaul dengan orang-orang yang dianggap kafir.

Baca Juga: Rachel Vennya Datang Ke Polda Metro Jaya Bersama Kekasih, Netizen: Mukanya Sok Dilemesin

Dengan berbagai tuduhan serta ancaman yang diterima, tidak membuat seorang Ahmad Dahlan mendendam apalagi memusuhi mereka.

Ia tetap tabah dalam perjuangan dan teguh dalam pengertian.

Dirinya sadar bahwa cara yang diperjuangkan untuk pendidikan rakyat Indonesia, masih belum dimengerti oleh orang di sekitarnya.

Fokus seorang K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah lepas dari upayanya untuk mendidik umat dan generasi masa depan.

Dirinya bahkan terus membuka ruang belajar untuk anak-anak terlantar di Kauman, Yogyakarta.

Baca Juga: Pemilik Nasi Kuning Legend Riburane Meninggal Dunia, Jajanan Khas Warga Makassar, Netizen: Doakan di Twitter

Walaupun menggunakan metode belajar ala barat, ia tidak pernah lupa untuk memadukannya dengan nilai-nilai tradisional.

Semangatnya untuk mencerdaskan umat benar-benar penuh perjuangan. Bahkan harus beradu argumen dengan para pemuka agama yang sangat tekstual dan menolak pembaharuan dalam beragama yang ditawarkan olehnya.

Tapi perjuangannya tetap berlanjut. K.H. Ahmad Dahlan berhasil membebaskan keterkungkungan nalar berpikir umat dan memperkenalkan budaya toleransi dalam berdakwah.

Salah satu warisan dari K.H. Ahmad Dahlan yang masih dirasakan oleh umat Islam di Indonesia saat ini adalah metode penentuan kiblat sholat dan ilmu falak.

K.H. Ahmad Dahlan Meninggal dunia di Yogyakarta pada 23 Februari 1923.***

Sumber: Buku Makin Mengimani, Makin Menghargai.
Penulis: Sukron Abdillah
Tahun terbit: 2018

Editor: Sutriani Nasiruddin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah