Menuju Bentuk Polarisasi Pemilu 2024, Golkar Penentu Identitas Koalisi Parpol

13 Februari 2023, 07:13 WIB
Ilustrasi koalisi /Pixabay.com/wir_sind_klein/

GOWAPOS - Surya Paloh bersama rombongan partai Nasional Demokrat (NasDem) tiba-tiba saja mengunjungi kantor PP partai Golongan Karya (Gokar), pada 1 Februari 2023.

Pertemuan kedua partai politik pengusung pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan KH. Ma’ruf Amin itu terjadi di tengah isu adanya reshuffle kabinet pemerintah pusat.

Namun uniknya pada saat jumpa wartawan, Ketua Umum partai NasDem tidak memungkiri jika suatu saat akan bergabung dengan koalisi partai Golkar, atau sebaliknya.

 

Lalu disusul beberapa hari setelahnya kunjungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke markas besar partai berlogo pohon beringin.

Baca Juga: Sebelum Tidur Baca 2 Ayat Ini, Insyaallah Kebutuhan dan Hajat Hidup Terpenuhi, Rezeki Dilancarkan

Meski tidak dihadiri masing-masing Ketua Umum, komunikasi kedua belah pihak juga tidak jauh-jauh terkait koalisi jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Pertemuan tidak kalah menarik justru dimulai oleh pihak Golkar. Airlangga Hartarto menemui Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, pada 10 Januari lalu.

Dikutip dari laman Pikiran Rakyat, walaupun sudah mengusung Sekretariat Bersama (SekBer) dengan partai Gerindra, antara PKB dan Golkar saling menawarkan koalisi satu sama lain.

 

Munculnya tiga poros koalisi partai politik hingga hari ini ternyata belum dapat dianggap sebagai final decision.

Baca Juga: Sinopsis Film DEATH WISH di TRANSTV: Pembalasan Dendam Dokter Bedah Bruce Willis Setelah Keluarganya Dihabisi

Sebab, masih memungkinkan adanya bongkar-pasang koalisi. Sehingga akan ada pemain tambahan atau ada yang akan ditinggalkan.

Ditambah lagi partai pemenang Pemilu 2019, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum melakukan manuver apapun meski dapat memajukan sendiri calon Presiden dan Wakil Presiden dari kalangannya.

Cairnya setiap partai politik masing-masing koalisi membicarakan strategi menuju Pemilu 2024 cukup menarik.

Termasuk manuver serius partai Golkar untuk turun gunung menemui dua koalisi berbeda akan jadi tanda tanya besar.

Sekaligus bisa menjadi satu tantangan serius terhadap partai berlogo kepala banteng, terkait lawan mereka sesungguhnya dalam kompetisi elektoral.

Polarisasi Terkini

Sebelum membahas lebih jauh prediksi iklim masing-masing koalisi partai politik (parpol), tentu banyak yang tidak setuju dengan penempatan kata “polarisasi” di artikel ini.

Polarisasi berasal dari kata polar, artinya kutub. Ada dua kutub berseberangan, antara kiri dan kanan, ideologis dan realistis, ada etisnisme dan nasionalisme.

Keberadaan dua kutub sangat mungkin terjadi dalam gelanggang politik, atau lebih tepatnya tersaji di atas panggung pertunjukkan demokrasi.

Jadi, polarisasi suatu bentuk keniscayaan dalam kontestasi demokrasi. Hadirnya kondisi itu karena ada pilihan.

Munculnya pilihan tentu berakibat pada perbedaan pendapat. Menurut analis politik Andrew Heywood, demokrasi tumbuh salah satu faktornya ada beberapa pihak menawarkan beragam pendapat, sebagai cerminan perbedaan kepentingan.

Jika menilik contoh, maka semua negara dengan sistem demokrasi telah menunjukkan kondisi adanya polariasi dalam pemilihan, termasuk di Indonesia (selain isu SARA).

Pemilihan Presiden Joe Biden bersaing dengan Donald Trump, juga telah melahiran polarisasi yang serius di negeri Paman Sam.

Pendekatan parlementaris serta teoritis Biden, terlihat bersaing ketat dengan pragmatisme Trump dengan segala kepercayaan dirinya untuk melakukan konsolidasi pemenangan.

Bahkan ketika tidak ada calonnya, polarisasi pun masih dapat terjadi. Contoh yang lebih dekat, ada pada Pilkada Kota Makassar tahun 2018.

Pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi maju melawan kotak kosong.

Mereka yang lebih memilih paslon tanpa sosok itu merupakan simpatisan dan pemilih loyal Walikota sebelumnya, Mohammad Ramdhan Pomanto.

Pada akhirnya, kedua contoh pemilihan tadi berujung dengan meredamnya polarisasi tajam antara masing-masing pendukung.

Poin pentingnya adalah polarisasi tidak dirawat dan diasuh selama proses pemerintahan baru berlangsung.

Tapi sang pemenang kontestasi merangkulnya, lalu menjalankan amanah titipan dari mereka yang sebelumnya berseberangan.

Politik era demokrasi membuka lebar pintu musyawarah, silang pendapat untuk membentuk sebuah kelompok yang lebih kuat dan solid.

Mungkin hal itu yang sedang dipersiapkan oleh masing-masing koalisi parpol Pemilu 2024.

Untuk sementara, polariasi yang dimunculkan oleh masing-masing koalisi masih menyesuaikan dengan konstituen anggota parpol.

Tapi satu hal yang pasti untuk sementara waktu, suara mayoritas umat Islam terbagi ke masing-masing koalisi.

Koalisi perubahan punya “kiblat” bernama PKS, koalisi Indonesia bersatu (KIB) punya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta koalisi kebangkitan Indonesia raya memiliki PKB dengan basis suara warga Nahdliyin.

Golkar vs PDIP

Jurgen Habermas, seorang filsuf kenamaan asal Jerman menawarkan konsep ruang publik yang bukan berangkat dari realita publik pada umumnya.

Ia melihat adanya gerakan turun ke bawah dari suatu lembaga atau institusi untuk mendengarkan, berargumen, bahkan mengatur ulang opini publik tentang kedudukan mereka saat ini.

Lembaga tersebut bergerak bebas tanpa beban, untuk menentukan ke arah mana langkah selanjutnya dan kepentingan seperti apa diperjuangkan.

Tampaknya manuver semacam itu dibentuk oleh partai Golkar dalam berbagai pertemuan lintas parpol, juga lintas koalisi jelang Pemilu 2024.

Jejaknya diperkuat dengan pernyataan langsung dari Airlangga Hartarto pasca bertemu Cak Imin.

“Kalau dua-duanya bergabung (PKB-Gerindra ke KIB) lebih kuat, lebih baik. Dalam politik tidak ada yang tidak bisa dibicarakan,” tuturnya, dikutip dari laman Pikiran Rakyat, 11 Februari 2023.

Andaikan Golkar juga masih membentuk perpaduan koalisi bersama KIB, tentu semakin membuat penasaran, identitas koalisi seperti apa yang akan terbentuk.

Mengingat tujuan awal KIB hadir adalah meredam pembelahan akibat identitas paslon yang dimajukan.

Oleh karenanya mereka sepakat memilih bakal Capres dan Cawapres dengan risiko dampak pembelahannya akan sangat rendah.

Apabila melihat kedua koalisi lainnya, punya catatan sejarah mendapat stigmatisasi dosa politik karena menggunakan isu agama dalam kompetisi Pemilu.

Maka tidak heran salah satu dampak bergabungnya Golkar ke masing-masing koalisi adalah memblokade serangan bola liar isu kelompok “identitas”.

Apalagi posisi partai berlogo pohon beringin itu yang masih setia dengan koalisi pemerintah dan dalam era modern selalu mengidentikkan sebagai partai tengah.

Satu faktor lagi yang akan menguntungkan masing-masing koalisi jika Golkar jadi bergabung adalah terkait head to head dengan PDIP.

Partai Golkar dan PDIP adalah dua kekuatan yang punya catatan persaingan paling intens sejak era Orde Baru.

Bahkan partai pimpinan Megawati Soekarno Putri itu adalah penantang serius Golkar setiap edisi Pemilu, meskipun pada akhirnya menjalin koalisi bersama setelah pemerintahan baru berjalan.

Parpol Airlangga Hartarto akan memberi warna baru dalam identitas koalisi gabungan yang berpeluang akan berhadapan lagi dengan PDIP.

Tapi ada satu hal dilematis terkait langkah politik Airlangga selanjutnya. Apakah ia rela dilabeli dengan identitas campuran golongan tertentu, untuk menghadapi kekuatan politik PDIP berbasis idealisme nasionalis.

Corak identitas beragam dari masing-masing koalisi tentu akan mempengaruhi strategi komunikasi politik Golkar jelang Pemilu 2024.

Sementara di atas kertas, mereka harus mengakui bahwa hanya ada satu poros yang boleh mengatakan dirinya paling “nasionalis” di antara yang lain.***

Editor: Andi Novriansyah Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler