Perempuan Tangguh dari Desa Sawakong Takalar, Mengubah Serat dan Daun Lontar Jadi Kerajinan Bernilai Tinggi

3 November 2023, 21:47 WIB
Munawarah, perempuan pengrajin serat daun lontar dari Desa Sawakang, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar yang berhasil membuat kerajinan serat lontar bernilai ekonomis tinggi. /dok. pribadi/

GOWAPOS - Pohon lontar yang berjejer rapi di sepanjang jalan, saat memasuki Desa Sawakong, Kecamatan Galesong Selatan, yang terletak 15 Km dari Ibu Kota Kabupaten Takalar, membuat suasana sejuk dan rindang.

Inilah pemandangan yang pertama terlihat, dari alam yang masih lestari dan damai. Dimana pohon lontar yang tumbuh subur dijadikan mata pencaharian oleh warga setempat selain bertani dan berkebun. 

Kekayaan alam dan potensi pohon lontar ini, dimanfaatkan sebagian besar warga untuk membuat anyaman serat daun lontar yang bernilai tinggi.

Tak terkecuali Munawarah, seorang ibu rumah tangga yang berhasil mengubah nasibnya dan warga sekitarnya untuk berkembang dengan memanfaatkan serat lontar sebagai anyaman.

Tetapi mulanya Munawarah tidak langsung tertarik dengan usaha turun temurun yang digeluti warga tersebut. Karena masih dijadikan usaha rumahan dan belum berkembang dan dikelola secara tradisional.

Karena itulah, Munawarah yang mengatongi ijazah Diploma Tiga (D3) Perbankan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar (STIEM) Bongaya Makassar, lebih memilih pekerjaan lain di Kota Makassar.

Sama seperti keinginan perempuan desa lainnya, Munawarah membayangkan bisa bekerja di kota dan punya penghasilan tetap dan juga berkantor dengan pendingin ruangan yang sejuk.

Hasilnya Munawarah diterima di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Plan International dan cukup lama menghabiskan waktunya bekerja di NGO tersebut.

"Saya dulunya ingin bekerja di kota, dan sempat menjadi perwakilan LSM tersebut. Saya cukup lama berkerja di sana yang mengurus pemberdayaan masyarakat," kenangnya.

Sementara mengurus LSM, usaha serat daun lontar sudah ditekuni kedua orangtuanya. Tapi Munawarah belum tertarik, karena hanya dikerjakan untuk mengisi waktu luang saja.

"Ini dulunya usaha orangtua dan diturunkan kepada kami anaknya. Jadi kami belajar menganyam dengan hanya melihat-lihat lalu mencoba, bahkan dengan kemanpuan seadanya,"terang istri Mulyadi ini.

Hampir semua warga di Desa Sawakong, Takalar bisa mengayam daun lontar, meskipun hanya belajar otodidak dengan kemanpuan terbatas.

Seiring dengan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Takalar untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Munawarah mulai diajak mengikuti pelatihan-pelatihan yang digelar pemerintah setempat dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).

"Karena orangtuanya sudah sepuh dan pendidikannya kurang, sehingga saya lah yang mewakili mengikuti pelatihan di kantor desa. Setelah itu, kembali diundang pelatihan di Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulsel,"jelas Perempuan Kelahiran Ujungpandang, 19 Januari 1966 ini.

Nah, dari situlah Munawarah mendapat inspirasi dan pengetahuan untuk mengembangkan usahanya tersebut. Bahkan anyaman yang dulunya hanya membuat songkok guru, mulai dibuat beragam bentuk dan bervariasi.

"Dari pelatihan-pelatihan yang saya ikuti, terbuka pemikiran untuk membuat beragam bentuk dari anyaman seperti kopiah, tas, tamplak meja, keramik anyaman, topi koboi dan sajadah,"sebut ibu dua anak ini.

Inilah Songkok Guru yang banyak dipesan dan jadi produk andalan usaha Angin Mammiri.
Bahan Baku dan Pembuatan Produk
Kini serat daun lontar sudah punya nilai ekonomi yang tinggi, sehingga sudah diperjualbelikan. Sebelumnya warga hanya mencari dan memungut di sekitar kebun dan tidak dijual, tetapi sekarang sudah dijadikan usaha warga setempat.

Munawarah mengaku membeli Rp7 ribu satu pelepah dari pengumpul. Setelah itu, pelepahnya direndam di kolam selama 15 hari hingga sebulan. Tujuannya agar daun lontarnya lembek, dan pelepahnya membusuk sehingga keluar seratnya untuk dianyam.

"Nah, kalau sudah membusuk biasanya seratnya keluar dan itulah yang diperlukan dalam pembuatan produk anyaman,"jelasnya.

Biasanya untuk mempercepat proses pembusukan ditambahkan air cucian beras di kolam perendaman daun lontar. Dan, ini merupakan trik orangtuanya tapi cukup ampuh untuk cepat memperoleh hasil yang sempurna.

Saat proses perendaman juga harus diawasi, dan ditutupi dengan atap seng agar air hujan tidak masuk. Karena bila terkena hujan, daun lontarnnya akan mudah rapuh.

Sementara untuk proses pewarnaannya digunakan pewarna benang yang dibeli dalam bentuk kiloan. Hanya warna hitam, yang menggunakan warna alam asli, dengan merendam lontar di lumpur dan daun-daun khusus sehinggga berwarna hitam.

Sedangkan untuk warna merah, kuning dan hijau yang biasa mendominasi pesanan diberikan pewarna benang yang dibeli di pasaran.

Mitra Pertamina
Berkat usahanya yang gigih dan pantang menyerah, anyaman daun lontar mulai dilirik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi.

Namun sebelum mendapatkan bantuan, pihak Pertamina beberapa kali meninjau usaha yang dikelola Munawarah tersebut.

Bahkan saat itu, belum punya nama usaha, dan akhirnya disepakati diberi nama Kelompok Usaha Bersama (Kube) Angin Mammiri. Filosofinya diartikan sebagai angin sejuk yang berhembus dari Desa Sawakong.

Setelah mendapatkan kepercayaan, usaha lontar ini diberikan pinjaman awal Rp5 juta. Pengembaliannya dengan cara diangsur setiap bulannya, dengan bunga rendah.

Ternyata bantuan modal ini, membuat usaha Angin Mammiri mulai mendapat pasar dan pesanan mulai berdatangan. Karena itulah, mereka kembali menambah permodalan setelah pinjaman awal berhasil dilunasi.

"Setelah melunasi pinjaman awal, pesanan juga terus bertambah dan permintaan dari toko-toko souvenir di kota Makassar juga mendesak untuk dipehuni," kata alumni STIEM Bongaya Makassar ini.

Munawarah kembali menambah modalnya untuk memenuhi semua pesanan tersebut, dan dari pihak Pertamina kembali memberikan pinjaman Rp25 juta.

Bantuan pinjaman ini digunakan sebaik-baiknya untuk mengembangkan usahanya yang semakin bertumbuh. Dan, terakhir mereka sudah dipercayakan mengelolah dana Rp60 juta.

"Alhamdulillah, semakin berkembangnya usaha juga terus memerlukan modal usaha yang banyak. Namun dengan bermitra dengan Pertamina yang selalu setia membantu, kami bisa berkembang,"terangnya.

Kemudahan lain yang diperoleh dari kemitraan ini, Munawarah sering diikutkan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dalam membuat variasi serat lontar.

Juga dar segi pemasaran, beberapa kali diikutkan pameran kerajinan yang digelar dalam skala nasional dan internasional.

Buktinya Munawarah, sudah pernah menggelar pameran di Malaysia dan Singapura. Sehingga produk hasil anyaman dari serat lontar ini, sudah dikenal di mancanegara.

Tak sedikit dari orang asing tersebut, memesan dan membeli hasil produknya yang cocok dijadikan cenderamata yang cantik dan unik.

Sementara kalau di Indonesia, hampir semua provinsi sudah pernah ditempati memamerkan hasil kerajinannya tersebut.

Nampak ibu-ibu sedang mengayam serat lontar yang kebanjiran pesanan di Usaha Angin Mammiri.
Rekrut Remaja Putus Sekolah
Pinjaman yang diperoleh dari Pertamina diakui Munawarah sangat membantu usahanya terus tumbuh. Dimana Munawarah sudah mampu membeli bahan baku daun lontar yang banyak, cat pewarna, dan benang emas untuk keperluan usahanya.

Menumpuknya pesanan membuat keluarga Munawarah, kewalahan untuk menyelesaikan semua permintaan tersebut. Sehingga mereka mulai mempekerjakan para tetangga, dan anak remaja yang kebetulan sudah tamat SMA namun tidak melanjutkan kuliah.

Bahkan tidak sedikit diantaranya yang putus sekolah, juga diajak bergabung. Begitupun dengan ibu-ibu rumah tangga turut terlibat, yang diharapkan bisa membantu suami menambah pendapatan keluarga dengan menganyam daun lontar.

"Bagi saya tidak sulit mengajari mereka, karena sudah punya dasar menganyam daun lontar sebelumnya. Jadi tinggal diarahkan sedikit terkait model pesanan yang akan dibikin,"jelas Munawarah.

Mengenai pemasaran usaha Angin Mammiri tidak pernah khawatir karena setiap toko souvenir selalu menantikan produknya. Selain dikenal bagus dan punya kualitas juga cepat laku di pasaran.

"Biasanya setiap barang yang saya bawa, pasti toko-toko souvenir borong semua. Berapapun saya bawa. Dan itu langsung mereka bayar cash,"ungkapnya.

Kini usahanya sudah memiliki sekitar 10 karyawan, yang setiap hari bersama-sana menganyam di rumahnya yang dijadikan tempat usaha.

Sedangkan harga untuk satu songkok guru dihargai Rp300 hingga jutaan. Harganya ditentukan dari halus tidaknya bahan anyaman dari produk tersebut.

"Kalau masalah harga biasanya ditentukan dari model dan benang warna yang digunakan produk pesanan tersebut. Sebab model yang rumit tentunya dikerjakan agak lama,"terang alumni STIEM Bongaya ini.

Sementara upah yang diberikan pada pekerjanya, untuk membuat satu produk kisaran Rp120-300 ribu. Jadi semua produk tersebut dikerjakan sendiri namun finishingnya seperti pewarnaan dikerjakan oleh Munawarah dan suaminya, Mulyadi.

Beberapa produk unggulannya seperti songkok guru, yang menjadi ciri khas suku Bugis Makassar yang dipakai saat gelaran pesta adat atau perkawinan.

Khusus di Desa Sawakkang, berdiri beberapa usaha kerajinan serupa dan bukan hanya usaha Angin Mammiri saja, tetapi ada tiga kelompok usaha kerajinan serupa. Kini desanya, sudah dikenal sebagai sentra pembuatan anyamann lontar.

"Sebenarnya, kami tidak bersaing sesama pengrajin, tetapi merupakan mitra kerja. Misalkan kami mendapatkan pesanan banyak, bisa mengambil dari kelompok usaha lainnya, begitupun sebaliknya,"terang Munawarah.

Kini kalangan pejabat juga banyak yang memasang langsung songkok khas Bugis Makassar ini diantaranya Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman.

"Pak gubernur langsung datang ke sini dan memesang songkok terbaik dari daun lontar, yang dilapisi dengan tembaga sehingga lebih ekslusif dibandingkan yang hanya memakai benang pewarna biasa,"jelas Munawarah.

Pesanan semakin bertambah, seiring diwajibkannya semua Aparatur Sipil Negara (ASN) memakai songkok ini, sekali dalam sepekan dalam bekerja.

Begitupun dengan ibu-ibunya diwajibkan memakai tas dari kerajinan lontar saat mengikuti acara-acara Pemerintah Daerah.

Banyak yang percaya dengan produk Usaha Angin Mammiri karena sudah masuk dalam Gugus Kendali Mutu, sehingga kualitas produknya dijamin lebih baik. Meskipun harganya terbilang sedikit lebih mahal dibandingkan usaha serupa  lainnya.

Disebutkan kalau kualitas standar sebuah songkok guru ditawarkan dari Rp300 ribu-Rp1 juta. Sedangkan yang memakai tembaga dibanderol Rp3 juta hingga Rp10 juta. Dimana masa pengerjaannya kisaran 40 hari.

Inilah produk tas yang dihasilkan dari Kube Angin Mamiri di Desa Sawakang, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar.
Dampak Pandemi Covid-19
SInilah masa sulit yang dialami Munawarah. Dimana kurang lebih dua tahun lamanya, usaha pesanan dirasakan agak berkurang dibandingkan sebelumnya.

Ini disebabkan pengaruh pandemi Covid-19. Penyebabnya permintaan barang kerajinan lontar dari toko-toko souvenir berkurang karena kurangnya daya beli masyarakat.

Ini juga disebabkan kurangnya acara-acara adat yang biasanya memakai songkok guru atau produk daun lontar. Begitupun permintaan dari stand souvenir di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin juga berkurang.

"Kalaupun ada permintaan hanya satu-satu dalam jumlah sedikit. Bahkan pekerja tidak berkumpul di rumah lagi, tapi mereka mengerjakannya di rumah masing-masing,"tambah Munawarah.

Ini dilakukan terkait adanya himbauan pemerintah, agar tidak berkumpul dan tetap menjaga jarak.

Bukan itu saja, tidak ada acara-acara pameran juga dirasakan berpengaruh pada usahanya. Pesanan atau pembelian pada even pameran, biasanya cukup menjanjikan. Namun hampir dua tahun, tidak pernah digelar kegiatan serupa.

"Kami juga merasakan kesulitan memasarkan saat itu, karena tidak adanya pameran yang biasanya ramai pembelian dari pesanan barang kerajinan,"sambungnya.

Namun Munawarah yakin setelah Covid-19 melandai, diharapkan barang kerajinan daun lontar kembali bergairah sehingga pekerjanya kembali memperoleh penghasilan cukup.

Meski begitu, Munawarah dan keluarganya selalu bersyukur karena usaha ini sudah bisa kembali berproduksi. Hasilnya Munawarah sudah bisa merenovasi rumahnya dan menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat sekolah menengah.

"Kita harus selalu bersyukur pada Allah, atas apa yang diberikan selama ini. Punya usaha yang dapat menghidupi keluarga dan para pekerja memenuhi kebutuhannya sehari-hari,"katanya.***

 

Editor: Subair Pare

Tags

Terkini

Terpopuler