Tekanan Sistem Proporsional Tertutup, PDIP dan KPU Ambil Peran Machiavellian?

- 23 Februari 2023, 15:10 WIB
Ilustrasi kolase logo PDIP, KPU, dan gambar Niccolo Machiavelli
Ilustrasi kolase logo PDIP, KPU, dan gambar Niccolo Machiavelli /Polish/

GOWAPOS - Presiden ke-6 Republik Indonesia dan mantan Ketua Umum partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membagikan satu catatan kritisnya terhadap upaya judicial review sistem Pemilihan Umum (Pemilu) kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah lama tidak bersuara menanggapi isu perpolitikan nasional, SBY mengaku kali ini tertarik dengan upaya dari pihak yang ingin mengembalikan sistem proporsional tertutup. Dikutip dari laman Deutsche Welle, ia mempertanyakan urgensi perubahan sistem Pemilu di tengah berjalannya proses tersebut.

 

Bahkan dirinya menyebut tidak ada situasi genting yang terjadi di Indonesia saat ini, sehingga harus mengupayakan perubahan. Tidak seperti masa krisis 1998, dengan adanya pergantian sistem Pemilu di tengah jalan.

Kritik keras dari Ketua Majelis Tinggi partai Demokrat itu tentu saja mengarah kepada pihak pro sistem tertutup. Dikutip dari laman Pikiran Rakyat, Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto justru mengingatkan kembali pada apa yang terjadi di masa pemerintahan SBY. Saat itu sistem Pemilu secara tiba-tiba diubah, bahkan 4 bulan sebelum masa pencoblosan.

Baca Juga: Honda Supra GTR150 Desain Baru dengan Harga Promo, Cek Jenis Motor dan Simulasi Kreditnya

 

Keputusan pemerintah mengubah mekanisme Pemilu kala itu, menurut Hasto hanya sebagai strategi untuk mengangkat suara partai Demokrat hingga 300 persen. Langkah judicial review PDIP menurutnya berbeda dengan partai Demokrat tahun 2008 lalu.

Diakui Hasto, aspirasi hadir bukan semata-mata dari internal partai. Tapi sudah mendapatkan banyak masukan dan riset oleh para pakar. Salah satunya karena sistem proporsional terbuka dianggap telah melahirkan intervensi kekuatan kapital terhadap partai politik. Menurut Sekjen PDIP itu, intervensi demikian telah menyandera demokrasi dari makna sebenarnya.

Hingga saat ini, perdebatan antara sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup masih berjalan di atas meja MK. PDIP dan KPU sebagai pihak yang mengajukan adanya pertimbangan sistem Pemilu saat ini, harus berhadapan dengan aliansi 8 partai politik (Golkar, Gerindra, PAN, NasDem, PKB, PKS, PPP dan Demokrat) yang menyatakan tetap pada sistem terbuka.

 

Antara terbuka dan tertutup

Baca Juga: Kapolda Metro Jaya Beri Instruksi Khusus Kepada Polisi RW, Minta Kedepankan Community Policing

Secara ringkasnya, sistem proporsional terbuka dalam kepemiluan di Indonesia dimulai ketika beberapa kader partai Demokrat mengajukan judicial review  pada bulan Desember 2008. Apabila merujuk pada perkataan Hasto Kristiyanto tadi, bahwa pengajuan itu dilakukan tiba-tiba mengingat tinggal 4 bulan lagi jadwal pencoblosan.

Karena telah dikabulkannya permohonan tersebut, maka mau tidak mau sejumlah partai politik beserta KPU harus merevisi ulang aturan Pemilu. Sosialisasi kepada masyarakat pun kembali digencarkan.

 

Bersamaan dengan itu, partai Demokrat meraup kenaikan suara yang signifikan. Sejumlah public figure yang direkrut secara instan melejitkan elektabilitas partai. Bagi SBY dan pemerintahannya, langkah pengubahan dari tertutup ke terbuka sebagai bentuk perwujudan demokrasi pemilihan untuk seluruh lapisan masyarakat.

Sehingga masyarakat sebagai pemilih dapat mengetahui calon wakil mereka di parlemen  atau pemerintahan, dan para calon dapat mempersiapkan strateginya sejak awal untuk dibagikan ke daerah pemilihannya (dapil) masing-masing. Keputusan tersebut dinilai telah berhasil meningkatkan partisipasi publik dalam Pemilu.

Tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggantungkan harapan kepada sosok dan partai politik mengalami perkembangan, seiring melesatnya pula elektabilitas elit. Walaupun demikian, akan ada plus dan minus dalam sebuah sistem yang berjalan.

Intervensi para pemodal, penyogokan politik, money politics , hingga sistem pengkaderan yang caru-marut akibat terlalu bernafsu untuk meraih kursi secara instan di parlemen memberikan citra buruk pada aktivitas politik nasional. Sekaligus ini menjadi kritik bahwa demokrasi yang terbentuk semakin hari semakin -meminjam kalimat Franz Magnis-Suseno- mendekatkan kepada kedaulatan tuan, bukan lagi kedaulatan rakyat.

 

Sebelum benar-benar serius membahas urgensi pergantian sistem Pemilu saat ini, sebaiknya perlu ada penjelasan singkat dan mudah terkait apa yang membedakannya. Sistem proporsional terbuka memiliki kelebihan di antaranya, pemilih dapat mengawasi langsung orang yang dipilih dalam Pemilu.

Kekurangan dari sistem terbuka yaitu memicu terjadinya politik uang (money politics), sebab biaya yang harus dikeluarkan sangat besar. Penentuannya ditentukan langsung lewat elektabilitas, sehingga kader dengan popularitas kurang tapi punya integritas tinggi terhadap partai, tidak punya peluang untuk maju.

Sistem proporsional tertutup menawarkan hal sebaliknya. Kelebihan dari sistem itu adalah rendahnya biaya politik yang dikeluarkan setiap calon atau partai, calon-calon yang kurang populer tapi dianggap punya integritas tinggi, masih ada peluang untuk terpilih sebagai anggota legislatif karena ditentukan oleh partai politik.

Kekurangan dari sistem tertutup tentu saja menutup peluang keterlibatan pemilih dalam menentukan calon wakil mereka di parlemen. Mereka tidak berhak mengontrol para calon terpilih dari partai politik yang mereka coblos saat Pemilu.

Peran machiavellian

Terlepas dari apapun keputusan MK nantinya, kedua sistem yang sedang diadu saat ini punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sama seperti ungkapan dari SBY. Ia sebenarnya tidak secara jelas menyatakan keberpihakannya dari salah satu sistem tersebut, melainkan etika politik dari keputusan yang dihasilkan adalah ‘fundamental consensus’ dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Sementara jika melihat alasan dari pihak yang mengajukan yaitu PDIP dan KPU, juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebuah hasil penelitian seorang akademisi dari program studi Hukum dan Tata Negara, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, menunjukkan adanya urgensi penggunaan sistem proporsional tertutup di Indonesia saat ini. Salah satu masalah yang disorot adalah politik uang dan besarnya ongkos yang harus dikeluarkan tiap calon wakil rakyat

Masih dalam penelitian yang sama, perlu adanya peninjauan kembali terhadap isi dari Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Partai Politik, Undang-Undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Hasilnya terlihat bahwa ada korelasi antara perintah dari regulasi negara dengan manfaat pada sistem tertutup. Maka timbul satu pertanyaan besar dan dapat menjadi bahan reflektif para pengamat politik secara lebih akurat, benarkan PDIP dan KPU mengambil peran machiavellian dalam upaya judicial review.

Mungkin sebelum ke sana akan dijelaskan lebih dulu terkait alasan menghubungkannya dengan peran machiavellian. Tentu saja ini bukan menyangkut perilaku disfungsional dari para auditor, tapi menjernihkan kembali pengaruh politik seorang tokoh bernama Niccolo Machiavelli, sehingga pemikirannya disebut machiavellian.

Sebenarnya di balik trik yang dianggap amoral dan melawan arus etika kekuasaan mainstream, terdapat tujuan humanis yang diperjuangkan seorang Machiavelli. Hasil penelitian dari dua akademisi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dengan judul  “Kejujuran dan Etika dalam Konsep Politik Machiavelli”, menunjukkan adanya saran dan upaya untuk merebut kekuasan dengan cara humanis.

Adapun perbuatan yang dirasa kejam, itu bertujuan demi tegaknya keadilan dalam suatu negara. Machiavelli berani mengorbankan individu-individu tertentu dan dianggap sumber masalah, untuk melindungi kelompok dengan jumlah lebih besar. Sebab baginya, tidak ada yang lebih penting selain kesejahteraan dan kecintaannya terhadap negara.

PDIP sebagai satu-satunya partai politik pendukung sistem tertutup telah mengeluarkan berbagai dalil alasan penguatnya agar MK menerima permintaan mereka. Meski keluar dari barisan mainstream, mereka yakin akan apa yang diperjuangkan adalah untuk kesejahteraan negara.

Anggota legislatif Fraksi PDIP, Arteria Dahlan menyampaikan adanya hal yang luput dari para pendukung sistem terbuka. Menurutnya, sistem terbuka selama ini telah melahirkan wakil rakyat yang kurang berintegritas.

Lanjutnya, integritas dan loyalitas anggota legislatif hanya akan teruji dari sistem pengkaderan internal partai politik. PDIP ingin melihat jalannya demokrasi terpenuhi secara substansial, bukan demokrasi prosedural.

Jalan yang ditempuh para pendukung sistem proporsional tertutup tidak mudah, karena semua lapisan masyarakat hingga elit politiknya sudah lama melazimkan sistem yang berjalan. Meskipun kekurangan-kekurangan tadi tetap terlihat dan semakin meningkat seiring berjalannya waktu, realitanya sudah banyak orang meninggalkan partisipasinya dalam beberapa edisi Pemilu.

Mungkin jika keacuhan itu dapat dipancing dengan menaikkan satu oktaf pembicaraan, terhadap isu fundamental dalam sistem politik nasional dengan pengaruh dalam kehidupan masyarakat akan ada sedikit keinginan untuk mencari tahu. Apa yang sebenarnya saat ini dianggap kurang etis, bisa jadi ada benarnya untuk dicoba.

Asumsi yang dapat dibangun untuk sementara ini adalah mencoba mengambil konteks sistem proporsional tertutup dengan realita sekarang. Untuk melihat sejauh mana penyakit akut money politics itu dapat terselesaikan dan pengaruhnya terhadap demokrasi di Indonesia jika vis a vis dengan data demokrasi sistem proporsional terbuka sejak 2009.

Melihat adanya upaya judicial review untuk mengganti sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup, mengingatkan pada apa yang digelisahkan Romo Franz Magnis-Suseno dalam sebuah pengantar, bahwa nasib dari setiap gelombang keterbukaan berakhir dalam ketertutupan lagi.***

Editor: Andi Novriansyah Saputra


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x