Reformasi Gagasan Wahdatul Wujud Lewat Filsafat Mulla Shadra, Titik Temu atau Berseberangan?

- 17 Maret 2023, 08:00 WIB
Ilustrasi sholat
Ilustrasi sholat /Instagram.com/@puisi_rumi/

GOWAPOS - Pembahasan mengenai konsep wujud telah menjadi perhatian besar para pemikir muslim, pasca masuknya metode berpikir filsafat di dunia Islam. Menurut ilmuwan seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Alparslan, persoalan terkait hakikat atau dasar eksistensi mendominasi sejarah pemikiran Islam (LSF Discourse: 2022).

 

Beberapa filsuf telah menghadirkan pandangan khasnya mengenai wujud (eksistensi), seperti Ibn Sina, Ibn Arabi, disempurnakan Suhrawardi, hingga masuk pada metode sintesa dari Mulla Shadra.

Filsafat wujud dunia Islam sering disebut sama dengan teori eksistensialisme oleh akademisi barat. Tapi menurut hemat penulis -selain dari penyebutan- nilai utama dari filsafat wujud dan eksistensialisme juga sedikit banyak berbeda.

Eksistensialis barat secara ringkas menekankan subjek pemiikiran kepada manusia seutuhnya. Ujungnya, para pemikir akan menunjukkan bahwa manusia pada fitrahnya mempunyai kebebasan berkendak atas dirinya sendiri tanpa ada pertalian dengan suatu eksistensi tunggal atau eksistensi dari segala yang eksis (entisitas).

Baca Juga: Promo Terbaru Honda BeAT Periode Maret - April 2023, Dapatkan Special Gift Mulai 200 Ribu Rupiah

Sementara wujud dalam dunia Islam berangkat dari wujud al-Mutlaq yang paling tertinggi, hingga mewujud pada alam semesta bahwa itu tidak lain adalah tajalli dari eksistensi tunggal. Meskipun sama-sama menganalisa tentang keberadaan manusia, pijakan dan tujuan kedua konsep begitu mencolok perbedaannya.

Untuk mengenal lebih dalam terkait konsep filsafat wujud paling mengemuka di dunia Islam, maka perlu merujuk pada dua nama tokoh termahsyur, yakni Ibn Arabi dan Mulla Shadra.

Berangkat dari wahdatul wujud ke eksistensi utama

 

Syaikh Muhyi al Din Muhammad Ibnu Ali, lebih dikenal dengan sebutan Ibn Arabi, dilahirkan di Murcia, Spanyol, pada 1165. Semasa hidupnya, banyak karya dihasilkan lewat penggabungan berbagai aliran pemikiran esoterik yang berkembang di dunia Islam ke dalam suatu metode sintesis dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits.

Baca Juga: Wakil Presiden RI Apresiasi Gerakan Wakaf Indonesia Secara Masif, Dinilai Bermanfaat Untuk Masyarakat

Ibn Arabi memulai pendidikannya di bawah naungan para ulama kota Murcia. Sempat bertemu dengan ulama sufi perempuan bernama Fathimah dari Cordova. Ajaran Fathimah mengantarkannya untuk masuk ke dunia sufisme -meskipun ayahnya sangat dekat dengan dunia sufi- hingga banyak mendapat pemahaman baru dari ensiklopedis dalam khazanah ilmu-ilmu Islam.

Keahliannya menghasilkan buah pikiran di bidang tafsir, hadits, figih, kalam, tasawuf, dan falsafah, membuat Ibn Arabi mendapatkan gelar kehormatan Syaikh al-Akbar (guru agung) dan muhyi al-din (pembangkit agama).

Bertolak pada bidang tasawuf dan falsafah, satu buah konsep monumentalnya yang menjadi rujukan para filsuf Islam di hari kemudian adalah kesatuan wujud (wahdatul wujud), istilah aslinya tauhid wujudi.

Wahdatul wujud menjelaskan tentang keseluruhan ada (wujud atau eksistensi) dan semua yang mengada (maujud) adalah satu kesatuan atau ketunggalan. Setiap keragaman di dunia realitas, baik itu terlihat secara indriawi ataupun intelektual, hanyalan ilusi.

Semua di dunia materi hanya bayangan atau pantulan cahaya dari satu wujud yang sama, atau sumber cahaya paling hakiki. Beragam realitas tidak wujud sendiri, melainkan sekedar pengungkapan dari realitas tunggal.

Tapi konsep wujud tersebut menurut Yazdi bukan berarti Ibn Arabi seorang panteistik (menganggap segala sesuatu adalah Tuhan), bukan juga monoteistik (ketunggalan dari Yang Transenden, semua atas hak-Nya), tapi lebih kepada monorealistik, yaitu menegaskan ketunggalan segala ada dan mengada.

Beralih ke filsuf Islam lainnya yaitu Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, yang dikenal Shadr Al-Din Syrazi atau Mulla Shadra. Ia dilahirkan di Syiraz, pada 979 Hijriyah dari keluarga Qawam yang begitu terhormat.

Tonggak pemikirannya ketika menemukan formula baru dalam merumuskan filsafat Islam. Mulla Shadra menyebutnya Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (hikmah transenden, atau teosofi transenden atau filsafat transenden), lebih dikenal dengan filsafat hikmah.

Metode perumusan filsafat hikmah merupakan penemuan baru di masa itu, karena menjadi sintesa dari tiga ilmu pengetahuan Islam sekaligus. Aliran mazhab baru ini mempertemukan pemikiran filsafat peripatetik, iluminasionis (isyraaqiyyah), dan ‘irfani dari Ibn Arabi.

Tentunya landasan berpikir hikmah tetap mengacu pada al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman ajaran Islam. Satu hal yang perlu ditelaah lebih dalam pada Al-Hikmah Al-Muta’aliyah yakni dinamika argumentasinya tentang wujud.

Mulla Shadra harus bergelut dengan pandangan filsuf peripatetik, dan Suhrawardi untuk menentukan cara pandang baru mengenai posisi eksistensi dan esensi. Poin penting yang dipertahankannya mengenai ashaalah al-wujud (realitas atau prinsipilitas eksistensi).

Ibn Sina di masa berkembangnya peripatetik juga sempat menggunakan istilah serupa. Tapi untuk membedakannya, Mulla Shadra mempertahankan konsep wujud dengan argumen rasional.

Baginya, wujud itu tidak terbatas dan tidak berbentuk, itulah satu-satunya realitas. Meja, kursi, lampu, tidak lebih dari sebuah modifikasi yang dipaksakan (baca: pembatasan) dari realitas (wujud).

Penyebutan benda-benda yang dengan mudah didefinisikan di dunia realitas ini disebut esensi (kuiditas), juga tidak lain adalah aksiden yang mengubah dan membatasi satu realitas tunggal, yaitu wujud. (Epistemologi tasawuf: 2017).

Reformasi prinsipil wujud

 

Pada perkembangannya, setiap hasil pemikiran filsafat Islam selalu saling melengkapi satu dengan yang lain. Tidak seperti di belahan dunia lain, satu argumen membantah dan menyembunyikan kebenaran dari argumentasi sebelumnya.

Seperti halnya filsafat hikmah Mulla Shadra, muncul berkat pengaruh dari konsep wahdatul wujud Ibn Arabi. Bahkan Mulla Shadra mampu memberikan hujjah falsafah terhadap wujud dari sudut pandang Ibn Arabi.

Sebenarnya ada beberapa bagian berbeda tentang wujud yang dikemukakan oleh kedua tokoh Islam tersebut, maka tidak heran ashaalah al-wujud hadir untuk memberikan pemaparan yang lebih rasional.

Ibn Arabi berpandangan bahwa wahdatul wujud hakikatnya pada thuri warai thur aql (di luar jangkauan akal, sehingga tidak sedikit para penerjemah kesulitan dalam memahami maksudnya.

Mungkin lewat penekanan prinsip wujud Mulla Shadra dapat sedikit terungkap maksud filosofis dari Ibn Arabi. Namun prinsipiltas harus bergerak ke ranah ambiguitas wujud (tasykik al-wujudi) untuk menjawab pertanyaan peripatetik terkait wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain.

Bagi Shadra, sesuatu yang mengada itu muncul dalam gradasi yang berbeda dari realitas tunggal. Wujud itu mempunyai tingkatan, memiliki intensitas  dan kelemahan. Jika meminjam contoh dari Suhrawardi tentang cahaya. Ada cahaya matahari, ada cahaya lampu dan cahaya lainnya. Semuanya cahaya, tetapi dengan predikat -umumnya kita sebut subjek- yang berbeda.

Gradasi semacam itu ada pada wujud, bukan pada kuiditas, tetapi pada eksistensi. Termasuk seluruh entitas sejak masih menjadi wujud paling dasar (wujud wajib) sampai materi (maddah) masing-masing adalah satu hakikat sesuai tingkatannya.

Berarti, wujud itu tunggal dalam kejamakannya dan jamak dalam ketunggalannya. Perbedaan asasi dari dua pandangan wujud tersebut menunjukkan bahwa itu bukan poin untuk membawa konsep wahdatul wujud dan prinsipilitas wujud menjadi saling bertentangan. (penyusakti.wordpress.com: 2017).

Kembali harus ditekankan setelah melihat argumen filsafat hikmah jelas sejalan dengan Ibn Arabi. Jika ingin lebih arif melihatnya, ashaalah al-wujud serta tasykik al-wujudi bisa menjadi kendaraan salik agar tiba pada wahdatul wujud para urafa.***

Editor: Andi Novriansyah Saputra


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x