Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti Tanggapi Isu Perpanjangan Jabatan Presiden

13 Maret 2022, 19:34 WIB
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti Tanggapi Isu Perpanjangan Jabatan Presiden /Muhammadiyah.or.id/

GOWAPOS -- Mencuatnya isu penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden, membuat beberapa pihak ikut bersuara seperti halnya, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.

Abdul Mu'ti menilai, wacana tiga periode bisa dilakukan secara formal-konstitusional, tetapi secara etika jauh dari moralitas konstitusi.

Pasalnya kata Abdul Mu'ti, di dalam penjelasan Umum Tentang Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia 1945, itu disebutkan bahwa pasal-pasal konstitusi tidak bisa dipahami secara terpisah dari teksnya saja. Tetapi juga harus dipahami terkait suasana kebatinannya.

“UUD negara manapun tidak bisa dimengerti jika hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya, dan harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin,” terang Mu’ti, pada forum webinar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, dikutip Muhammadiyah.or.id, Minggu 13 Maret 2022.

Baca Juga: Lirik Sountrack Sinetron SUAMI PENGGANTI ANTV Pura-Pura Lupa yang Dinyanyikan Mahen

Olehnya itu lanjut Mu'ti, penetapan masa jabatan presiden dan wakilnya selama dua periode dalam amandemen UUD 1945, itu tidak terlepas dari semangat reformasi.

"Karena ada preseden Bung Karno memimpin sangat lama kemudian ada Pak Harto yang juga memimpin sangat lama. Nah suasana kebatinan dan semangat reformasi ini adalah bagian tak terpisahkan dari lahirnya amandemen UUD 1945, khususnya terkait pasal yang berkaitan dengan masa jabatan presiden. Karena itu kalau kita mau bicara dari sisi teksnya saja, ya masih bisa ditafsirkan sana sini,” jelasnya.

Mu'ti melanjutkan, di luar teks formal, suasana kebatinan dan kejiwaan serta konteks yang menjadi latar belakang lahirnya pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945, itu juga tidak boleh dilepaskan.

“Nah suasana kebatinan itu adalah jiwa dari suatu UUD. Suasana kebangsaan itu adalah ruh yang menjadi landasan mengapa sebuah UU itu disusun dan mengapa teks atau redaksinya itu berbunyi sesuai dengan di UUD itu,” katanya.

Baca Juga: Arab Saudi Eksekusi Massal 81 Pria yang Terjaring Dalam Teroris

Dari pemahaman yang utuh terhadap teks dan konteks penyusunan UUD, Mu’ti beranggapan bahwa wacana hingga aksi amandemen UU untuk mewujudkan perpanjangan masa jabatan Presiden terbuka untuk dilakukan, tetapi melabrak norma kepatutan.

“Marilah kemudian kita meninggalkan legacy yang baik sebagai pendidikan dan keteladanan bagi putra-putri bangsa. Jangan sampailah bangsa kita terutama generasi muda ini mempelajari sejarah yang tidak baik dari para pemimpinnya dan kemudian sejarah kita ini harus kita koreksi berkali-kali hanya untuk menyelamatkan seseorang yang mungkin orang itu sedang berkuasa, atau orang itu sedang turun dari kekuasaan,” pungkasnya.***

Editor: Sutriani Nasiruddin

Tags

Terkini

Terpopuler