Refly Harun Ungkap Bahaya Selalu Gunakan Pasal-Pasal Berita Bohong, Khawatir Oposisi Rezim Tutup Mulut

- 4 Desember 2022, 05:35 WIB
Refly Harun
Refly Harun /Instagram.com/@reflyharunofficial/

GOWAPOS - Pengamat politik dan ahli hukum tata negara, Refly Harun mengungkapkan bahaya selalu menggunakan pasal-pasal berkaitan berita bohong.

Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sejak disahkan oleh negara telah banyak menjerat para pelanggarnya hingga saat ini.

Apalgi dengan penggunaan media sosial yang begitu masif, setiap pemilik akun merasa bebas berpendapat apapun tentang fenomena sosial yang di sekitarnya.

Meskipun tidak semua informasi dapat dijerat oleh pasal-pasal pelanggaran UU ITE, tapi tidak sedikit pula merasa dirugikan karena penafsiran subjektif yang digunakan saat melaporkan dugaan pelaku hoax.

Baca Juga: Keberangkatan Pesawat Rute Bandung - Denpasar Tanggal 4 Desember 2022, Terdapat 5 Jadwal Penerbangan

Dampak menggunakan secara terus-menerus pasal-pasal berita bohong tersebut juga disorot oleh ahli hukum tata negara Refly Harun.

Menurutnya laporan-laporan yang dibuat nantinya oleh pihak pelapor dapat ditiru oleh orang lain untuk membungkam siapa saja yang berbeda pandangan.

"Pasal-pasal penyebarang berita bohong itu selalu digunakan untuk membungkam siapa saja. Jadi siapapun yang berpendapat dan itu tidak disukai oleh rezim, itu dianggap menyebarkan berita bohong," kata Refly Harun, Pada Press Conference Bebaskan Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono yang disiarkan oleh kanal YouTube Realita TV, 3 Desember 2022 malam.

Tidak hanya berkaitan dengan pendapat perorangan, Refly juga menemukan adanya laporan terhadap suatu komunitas karena berbeda cara memahami sebuah data statistik.

Baca Juga: Piala Dunia 2022: Magis Lionel Messi, Bawa Argentina Melaju Ke Babak Perempat Final

Perbedaan cara membaca statistik itu juga ternyata terkena delik penyebaran berita bohong.

"Saya ingat pernah pengaduan terhadap Green Peace. Green Peace itu berbicara tentang deforestasi dan bicara statistik. Saya kasih contoh begini, kalau jaman (Presiden) SBY dua dan jaman (Presiden) Jokowi tambah satu, kan cara bacanya mudah. Kalau kita bilang tren, kan penurunan. Tapi kalau dua tadi belum diselesaikan, jadinya kan tiga. Itu cara membacanya, karena kan masa lalu harus diselesaikan juga," ujar Refly Harun.

Lebih lanjut pria lulusan Universitas Gadjah Mada itu mengatakan ia begitu terkejut dengan aksi pelaporan terhadap komunitas tersebut, meskipun ujungnya laporan berhasil dicabut.

Ia juga menyorot terkait kasus pelaporan terhadap informasi yang berdasarkan dari mimpi.

Melihat hasil dari penggunaan pasal-pasal berita bohong selama ini, Refly Harun merasa perlu kiranya untuk menjernihkan kembali definisi tentang penyebaran berita bohong.

"Jelas berita bohong itu adalah seseorang tahu cerita yang sesungguhnya, tapi dia sebarkan berita versi bohongnya. Siapa yang menyebarkan berita bohong paling absolut itu? ya salah satunya (Ferdy) Sambo. Sambo itu jelas-jelas menyebarkan berita bohong dan nggak kena kan?," tuturnya.

Menurutnya, informasi yang masih bersifat spekulatif di masyarakat tidak bisa semena-mena diartikan sebagai penyebaran berita bohong.

Informasi spekulatif itu bagi Refly adalah informasi yang butuh klarifikasi. Ia pun menyebut contohnya seperti kasus dugaan ijazah palsu yang menjerat pelapor sebelumnya yaitu Bambang Tri Mulyono.

Walaupun forum hukum untuk Bambang telah dicabut oleh tim kuasa hukumnya, informasi dugaan ijazah palsu yang dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu klarifikasi dari Bambang.

"Misalnya soal ijazah palsu, itu berita yang perlu klarifikasi dan melalui berbagai forum, baik forum hukum maupun forum politik. Saya imbau kepada DPR atau DPD bergerak menggunakan hak politik mereka yaitu pengawasan. Tapi sayangnya tidak digunakan setelah forum hukum dicabut," ujar Refly Harun.***

Editor: Andi Novriansyah Saputra

Sumber: YouTube Realita TV


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah