Manusia yang Terikat atau Otoritatif: Perspektif Fakhr Ad-Din Ar-Razy dan Martin Heidegger

- 31 Maret 2023, 18:05 WIB
Ilustrasi berpikir
Ilustrasi berpikir /Pixabay.com/geralt/

Pada intinya, mengenal manusia dinilai Ar-Razy tidak boleh dilepas dari aspek ruhani.Oleh karena itu untuk mengenal eksistensi alam harus mengenal juga pencipta alam itu sendiri, bukan sebatas memahami fenomena alam (Muhammad Mukhlis Nashrulloh, 2019).

Beralih dari penerjemahan filsuf Islam ke filsuf Jerman, Martin Heidegger. Butuh nalar filosofis sentral untuk membaca secara dalam buku Sein und Zeit (Ada dan waktu). Sebelum mengarah pada konsep manusia miliknya, terlebih dahulu harus memahami makna wujud atau ada (eksistensi) yang ia sodorkan.

Ia memulai setiap konsepnya -dalam buku itu- pada pertanyaan paling mendasar dan dianggap aneh. Tujuannya agar setiap pembaca memahami hasil dari pemaknaan hermeneutis dan interpretasi dari setiap ulasan tentang wujud.

Satu pelecut sehingga pertanyaan itu muncul karena pengaburan yang diperbuat lewat tradisi fiosofis. Ia membuat poin besar untuk membedakan antara wujud eksistensial dan wujud non eksistensial (

Keduanya punya makna berbeda, jika merujuk pada wujud non-eksistensial berarti mengarah pada bentuk-bentuk berkategori. Eksistensi itu menurut Heidegger terpaksa harus mendapat kategori karena kepicikan dan sempitnya rasionalitas manusia dalam memahami terminologi (Kompasiana.com, 2022).

Pelajaran filsafatnya memperlihatkan bahwa terminologi terhadap alam bahkan titik awal penciptaan (yang-ada) sebagai sumber penciptaan (mengada), dibatasi lewat istilah, contohnya Tuhan, Allah, El, dan sebagainya.

Padahal bila melihat tingkatan penciptaan dari hasil interpretasi terhadap alam semestas, hal itu bisa jadi lebih luas dari definisi yang didoktrin selama ini. Ketika manusia bertikai karena masalah terminologi atau kata, Heidegger menilainya sebagai sebuah kehancuran peradaban.

Karena kemanusiaan serta -lebih dalam lagi- alam keilahian terlalu kaya dan mendalam untuk digolongkan pada sebuah istilah. Maka dari itu, Martin Heidegger mengajukan pengertian-pengertian kritis yang didasarkan terhadap pengalaman eksistensialis manusia, sebab manusia adlah existenz, atau Being.

Kembali pada tataran perenungan filosofis-eksistensial manusia, ia menamakan makhluk itu dengan sebutan Dasein. Makna dari Dasein dianggapnya bebas dari kepentingan kekuasaan eksternal, agama, dogma tradisi dan budaya, atau keyakinan buatan manusia lainnya.

Istilah tersebut hadir sebagai sebuah metafisis untuk entitas (sejauh kenyataannya) manusia. Manusia adalah realitas, ia adalah Being. Tapi jelas, manusia berbeda dengan entitas-entitas lain.

Halaman:

Editor: Andi Novriansyah Saputra


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x